oleh

Prabowo Teken MOU Jebakan Cina, Pengamat: Karena Menlu Minus Pengalaman dan Tekanan Rombongan Pengusaha

Jakarta, Kemajuanrakyat.id– Belum berpengalamannya anak didik Presiden Prabowo Subianto yakni Menteri Luar Negeri Sugiono mengenai politik luar negeri menyebabkan risiko dicaploknya Kepulauan Natuna Utara di Laut Cina Selatan (LCS) oleh Tiongkok dari wilayah Indonesia.

Risiko ini terjadi lewat Memorandum of Understanding (MOU) kerja sama pembangunan maritim Indonesia-Cina di LCS yang baru saja diteken Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping di Beijing, ibu kota Cina.

Hal lain yang menyebabkan “kecelakaan” ini tak lepas dari tekanan kalangan pengusaha papan atas Indonesia yang mengikuti rombongan Presiden Prabowo selama kunjungan tiga hari di Cina.

Mereka adalah Direktur Utama Bakrie Group Anindya Bakrie, pendiri Grup Sinar Mas Franky Oesman Widjaja, Direktur Utama Adaro Energy Indonesia Garibaldi “Boy” Thohir, pendiri Barito Group Prajogo Pangestu, pendiri Artha Graha Group Tommy Winata, Direktur Indika Energy Arsjad Rasjid, dan adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo.

Selain itu, dilansir KBA News dari Asia Times, Senin, 11 November 2024, perubahan dramatis kebijakan Indonesia terkait LCS juga bisa karena kurangnya pengalaman diplomatik Prabowo.

“Atau juga menandakan keinginan Presiden Prabowo untuk membangun hubungan ekonomi yang lebih kuat dengan Tiongkok,” tulis Asia Times dalam artikel berjudul “Apakah Prabowo Menyerah Begitu Saja kepada Cina di Laut Natuna Utara?” (Did Prabowo just yield to China in the North Natuna Sea?).

Menurut sumber yang mengetahui situasi tersebut, Sugiono telah diberi nasihat oleh pejabat Kementerian Luar Negeri mengenai frase yang bermasalah dalam dokumen kerja sama tersebut, namun ia tidak mendengar atau gagal memahaminya.

Sumber tersebut menyalahkan pula tekanan dari kalangan pengusaha berpengaruh yang ikut rombongan Prabowo. Para taipan ini menghadiri penandatanganan kesepakatan pinjaman Cina ke Indonesia senilai Rp 156,19 triliun rupiah (10 miliar dolar AS), yang rinciannya tidak diumumkan ke publik.

Mantan Presiden Jokowi juga berhasil menandatangani banyak kesepakatan serupa selama kunjungan ke Tiongkok, tapi tanpa memberikan konsesi mengenai masalah laut.

Karena itu Prabowo Subianto disebut telah membuat bingung banyak pengamat kebijakan luar negeri karena perubahan dramatis Indonesia dalam kebijakan Laut Cina Selatan wilayah Natuna Utara.

Para pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia bahkan terkejut setelah pernyataan resmi dikeluarkan pada hari terakhir kunjungan Prabowo, karena ini artinya secara tidak langsung Indonesia mengakui klaim ekspansif Tiongkok atas “sembilan garis putus-putus” atas sebagian besar Laut Cina Selatan, termasuk bagian dari zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEE).

Kementerian Luar Negeri Indonesia memang dengan cepat mengeluarkan pernyataan klarifikasi yang menolak anggapan bahwa Indonesia telah mengakui peta Tiongkok dengan sembilan garis putus-putus.

“Apakah ini hanya sebuah kecerobohan belaka yang dilakukan oleh seorang presiden yang bertekad untuk memimpin [sendiri] kebijakan luar negeri ketimbang [mempercayakannya ke] birokrat diplomatik? Ataukah hal ini mengisyaratkan bahwa Prabowo sedang memulai perubahan posisi geopolitik Indonesia terhadap Tiongkok?” tulis Asia Times.

Sengketa Lama

Inti dari kontroversi ini adalah frase “pemahaman bersama mengenai pembangunan bersama di wilayah yang tumpang tindih klaimnya” terutama untuk pengembangan maritim.

Frase ini potensial punya implikasi besar. Sebab, Tiongkok telah lama membuat klaim teritorial yang luas atas perairan di Laut Cina Selatan yang tumpang tindih dengan klaim teritorial beberapa negara Asia Tenggara.

Bagi Indonesia, wilayah sengketanya adalah di Laut Natuna Utara yang diklaim Cina sebagai miliknya meski berada di ZEE Indonesia.

Indonesia tidak hanya selalu dengan tegas menolak klaim tersebut, namun juga mengambil sikap tegas bahwa tidak ada yang perlu dibicarakan karena klaim Tiongkok tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.

Hal ini didukung oleh keputusan Pengadilan Permanen Arbitrase PBB pada 2016 berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Bahkan tawaran Tiongkok untuk memulai diskusi mengenai masalah ini telah ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia karena dianggap tidak relevan.

Dengan mencantumkan namanya dalam pernyataan resmi yang menerima premis “klaim yang tumpang tindih”, maka Prabowo tampaknya menerima bahwa Tiongkok memiliki klaim teritorial yang sah di Laut Natuna Utara, yang jika demikian akan menunjukkan perubahan besar dalam kebijakan Indonesia.

Menurut sumber yang mengetahui masalah ini, pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia telah melobi keras agar bahasa tersebut diubah, namun pada akhirnya gagal.

Namun, sejak saat itu, Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan pernyataan yang mengklarifikasi bahwa MOU kerja sama maritim “tidak dapat diartikan sebagai pengakuan atas klaim 9 garis putus-putus” Cina dan oleh karena itu, tidak berdampak pada kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara.

Hal ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa Indonesia baru-baru ini memberi sinyal akan mengambil tindakan lebih tegas terhadap persoalan di Laut Natuna Utara.

Pada Rabu, 23 Oktober 2024, Badan Keamanan Laut Indonesia mengumumkan telah mengusir kapal penjaga pantai Tiongkok yang melanggar batas perairan teritorial Indonesia di sekitar Natuna dan merilis video kejadian tersebut.

Banyak yang menganggap ini sebagai tanda bahwa Indonesia akan mengambil pendekatan yang lebih tegas di bawah kepemimpinan Prabowo, mantan prajurit Kopassus.

Di bawah pemerintahan sebelumnya, Indonesia dengan tegas menolak klaim maritim Tiongkok dan juga berusaha menjaga ketegangan tetap rendah.

Para pengamat dan pakar sedang memikirkan apa yang harus mereka ambil atas pengumuman mengejutkan ini.

“(Terkait) dengan pernyataan bersama yang baru dirilis yang menyatakan bahwa kita memiliki klaim yang tumpang tindih, itu sangat signifikan,” kata Aristyo Darmawan, dosen hukum internasional Universitas Indonesia dan pakar hukum maritim.

Dia berpendapat ada dua konsekuensi dari pernyataan ini. Pertama, menerima klaim tumpang tindih berarti Indonesia terbuka untuk negosiasi mengenai batas maritim. “Dan menurut saya, tidak masuk akal untuk menegosiasikan demarkasi batas laut atas klaim yang tidak berdasarkan hukum internasional,” kata Aristyo.

Implikasi kedua, kata Aritsyo, adalah terbukanya pintu untuk berbagi sumber daya alam di wilayah tersebut. Perikanan serta minyak dan gas disebutkan dalam dokumen kedua belah pihak namun tidak disebutkan secara eksplisit dalam pernyataan bersama.

Tindakan Bodoh

“Menurutku itu sesuatu yang bodoh,” kata Aristyo. “Ini seperti orang sembarangan yang berpendapat bahwa bagian dari rumah Anda adalah miliknya dan, oleh karena itu, Anda harus berbagi sebagian sumber dayanya.”

Pakar lain mengambil pandangan yang sedikit lebih optimis dengan mempertanyakan seberapa besar arti pernyataan tersebut atau mengubah fakta di lapangan.

“Penerimaan Indonesia terhadap bidang yang tumpang tindih dan membuka pintu bagi pembangunan bersama memang merupakan pergeseran besar,” kata Gregory Poling, direktur Inisiatif Transparansi Maritim Asia.

Namun, tambahnya, klarifikasi cepat yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia menunjukkan dalam praktiknya hal ini adalah kartu mati yang tidak bisa lagi diutak-atik.

Sumber: Kba News

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed